Nama : Ratih Fatmawati
NPM : 25210656
Kelas : 2EB18
Hukum
Perjanjian
1. Standar Kontrak
Pengertian
adalah
perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa
formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan
kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen
(Johannes Gunawan)
·
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir (Mariam Badrulzaman)
·
is one in which there is great disparity of bargaining power
that the weaker party has no choice but to accept the terms imposed by the
stronger party or forego the transaction.
·
Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan
atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan
disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat
standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada
kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa
yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model,
rumusan, dan ukuran.
Menurut
Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus
- 1. Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
- 2. Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Jenis-jenis
kontrak standar
Ditinjau
dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka
ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:
a. kontrak standar
yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
b. kontrak standar
yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
c. kontrak standar
yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
Ditinjau
dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat
dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
a. kontrak standar
menyatu;
b. kontrak standar
terpisah.
Ditinjau
dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:
kontrak
standar yang baru dianggap mengikat saat ditandata- ngani;
kontrak
standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan.
2.
MACAM-MACAM
PERJANJIAN
Berdasarkan waktunya, perjanjian kerja
dibagi menjadi:
>> perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT);
>> pekerjaan waktu tidak tertentu (PKWTT).
Sedangan berdasarkan bentuknya, perjanjian kerja dibagi menjadi:
>> tertulis;
>> lisan
>> perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT);
>> pekerjaan waktu tidak tertentu (PKWTT).
Sedangan berdasarkan bentuknya, perjanjian kerja dibagi menjadi:
>> tertulis;
>> lisan
3.
SYARAT-SYARAT
PERJANJIAN KERJA
Menurut Pasal 1338 ayat (1) bahwa perjanjian
yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian
harus mempedomani Pasal 1320 KHU Perdata.
Pasal 1320 KHU Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada :
1. Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.
2. Kecakapan
Kecakapan di sini berarti para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan oleh hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.
3. Hal tertentu
Maksudnya objek yang diatur kontrak harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi, tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif.
4. Sebab yang dibolehkan
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.
4.
Saat
Lahirnya Perjanjian
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat
sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah
barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat
kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak
sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang
berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan
suatu perbuatan.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi
4 syarat:
1. Kesepakatan mereka
yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan
tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak
terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat
subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif.
Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua
(kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak
terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab
yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang
dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut
sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau
undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus
dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas
dimasukkan di dalamnya.
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang,
perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran
(offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik
itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun
kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi
tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat
yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah
lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak
lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan
ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau
peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam
pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual
beli.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak
karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian
adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata
sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan
adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme.
asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya
sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat,
maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang
diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik
autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian,
hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi
persyaratan formil.
Subyek hukum atau pribadi yang
menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat
terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering
disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang
berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau
tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih
atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan.
Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu
dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian
saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi
termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga .
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan
suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa
ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan
sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa
dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya
kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan
itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus
halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut
haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai
kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang
atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan
perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang
merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana.
Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar
ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan
masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang
berbeda-beda.
5.
Penyebab
Membatalkan Perjanjian
>> pekerja meninggal dunia
>> jangka waktu perjanjian kerja berakhir;
>> adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
>> adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan kerja, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Contoh Kasus :
# Contoh 1
>> jangka waktu perjanjian kerja berakhir;
>> adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
>> adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan kerja, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Contoh Kasus :
# Contoh 1
A berhutang
kepada B sejumlah 10 Juta dan A membayar hutangnya dengan menggunakan Bilyet
Giro yang terbagi dalam 4 lembar Bilyet Giro. Selama proses pencairan bilyet
giro tersebut ternyata ada 1 lembar bilyet giro yang tidak bisa dicairkan
karena saldo di rekening giro A tidak cukup. Sisa hutang tersebut tidak
terbayar selama berbulan-bulan sampai akhirnya terjadi kesepakatan antara A dan
B bahwa A akan melakukan penyicilan pembayaran atas sisa hutangnya tersebut.
Seiring berjalannya waktu ternyata A hanya bisa menyicil separo dari sisa
hutangnya dan kemudian B melaporkan A kepada polisi. Kasus ini termasuk kasus
pererjanjian karena B telah menerima cicilan dari A dan telah terjadi esepakatan
antara A dan B tentang mekanisme penyicilan sisa hutang
# Contoh 2
# Contoh 2
Bapak A
mempunyai 3 orang anak, yaitu B, C, dan D. Sebelum meninggal, Bapak A telah
menulis surat wasiat yang ditujukan untuk ketiga anaknya tersebut. Dalam surat
wasiat tersebut menyebutkan bagian warisan untuk masing-masing anaknya. Sebulan
setelah Bapak A meninggal terjadi selisih pendapat antara masing-masing anaknya
tersebut hingga menyebabkan perselisihan dalam pembagian harta warisan. Karena
ada yang tidak terima, maka salah satu anak Bapak A melaporkan 2 saudara lainnya
ke polisi. Laporan yang diberikan kepada polisi merupakan laporan atas kasus perjanjian.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar